Hukum Menggabungkan niat puasa sunnah dengan puasa qodho’ romadhon

. . Tidak ada komentar:
Hukum Menggabungkan niat puasa sunnah dengan puasa qodho’ romadhon


Ada suatu masalah yang dikenal di kalangan para ulama yaitu masalah penggabungan atau memasukkan niat ibadah yang satu pada ibadah yang lainnya. Di antara bentuk masalah ini adalah menggabungkan niat amalan wajib dan amalan sunnah.
Para ulama memberikan kaedah dalam hal ini, “Barangsiapa melakukan amalan sunnah, maka itu tidak bisa mencakupi yang wajib.” Misalnya, seseorang berniat puasa ‘Asyura, maka itu tidak bisa mencakupi qodho’ puasa. Namun jika seseorang melaksanakan qodho’ puasa dan bertepatan dengan hari puasa ‘Asyura’, maka qodho’ puasanya sah. Sebagian ulama mengatakan bahwa moga-moga juga ia mendapatkan pahala puasa ‘Asyura sekaligus.[1]
Penulis Mughnil Muhtaj, salah satu kitab Syafi’iyah, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan, “Seandainya seseorang berpuasa di bulan Syawal dengan niatan qodho’ puasa, puasa nadzar atau puasa lainnya, apakah ia juga akan mendapatkan pahala puasa sunnah atau tidak. Saya belum menemukan ada yang berpendapat seperti ini. Namun pendapat terkuat, ia akan mendapatkan pahala puasa sunnah tersebut.”[2]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah dalam Fatawa Ash Shiyam berkata: “Barangsiapa yang melakukan puasa pada hari ‘Arofah (9 Dzulhijah), atau pada hari ‘Asyura (10 Muharram) sedangkan ia masih memiliki hutang puasa Ramadhan, maka puasa sunnah yang ia lakukan tadi sah. Akan tetapi, apabila ia berniat melakukan puasa dengan niatan puasa qodho’ Ramadhan yang bertepatan pada hari ‘Arofah atau pada hari ‘Asyura, maka ia akan mendapati dua pahala, yaitu pahala  puasa untuk qodho’  dan pahala puasa‘Asyura. Adapun puasa enam hari di bulan Syawal, ia adalah puasa muqoyyad, artinya ada kaitannya dengan puasa di bulan Ramadhan. Puasa Syawal boleh dilakukan setelah qodho’ Ramadhan selesai ditunaikan. Seandainya seseorang melakukan puasa Syawal sebelum qodho’ puasa Ramadhan, maka ia tidak mendapati ganjaran puasa Syawal (yaitu pahala seperti puasa setahun penuh, pen). Karena Nabi shallalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من صام رمضان ثم أتبعه بست من شوال فكأنما صام الدهر
“Barangsiapa yang melaksankan puasa Ramadhan, lantas ia ikuti dengan puasa enam hari Syawal, maka seakan-akan ia melakukan puasa setahun penuh.”[3]Sudah maklum bahwa orang yang masih memiliki utang/ qodho’ puasa, belum dianggap melakukan puasa Ramadhan sampai ia menyempurnakan qodho’ puasanya.”[4]
Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah dalam Fatawanya menjelaskan, “Sudah sepatutnya seseorang mendahulukan qodho’ puasa. Ini lebih utama daripada melakukan puasa sunnah (tathowwu’). Namun jika waktu begitu sempit dan khawatir akan luput puasa pada hari yang mulia seperti pada hari ‘Asyura (10 Muharram) atau pada hari ‘Arofah (9 Dzulhijah), maka berpuasalah dengan niatan qodho’ puasa. Semoga dari situ ia pun bisa mendapatkan pahala puasa ‘Asyura atau puasa ‘Arofah sekaligus. Karunia Allah sungguh amat luas. Wallahu a’lam.”[5]
Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap dalam Riset Ilmiyyah dan Fatwa) di Saudi Arabia pernah mengatakan,
لا يجوز صيام التطوع بنيتين، نية القضاء ونية السنة
“Tidak boleh melakukan puasa sunnah dengan dua niat sekaligus yaitu dengan niat qodho’ puasa dan niat puasa sunnah.”[6]
Terkhusus puasa Syawal, tetap lebih utama seseorang melaksanakan qodho’ puasa Ramadhan daripada puasa Syawal. Karena pahala puasa Syawal (pahalanya seperti berpuasa setahun penuh) bisa diraih jika seseorang melakukan puasa Ramadhan secara sempurna. Artinya, jika masih ada utang puasa, maka seharusnya itu lebih didahulukan daripada puasa Syawal. Namun seandainya ia tetap berpuasa Syawal, puasanya tetap sah. Pahala setahun penuh saja yang luput darinya. Menurut pendapat paling kuat -. Wallohu a’lam.



[1] Lihat Fatwa Al Islam wa Jawab no. 128256,  http://islamqa.com/ar/ref/128256/.
[2] Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfazhil Minhaj, Muhammad bin Al Khotib Asy Syarbini, Darul Ma’rifah, cetakan pertama, 1418 H, 1/654
[3] HR. Muslim no. 1164, dari Abu Ayyub Al Anshori
[4] Fatawa Ash Shiyam 438. Dinukil dari Fatwa Al Islam wa Jawab no. 128256.
[5] Fatwa Al Islam wa Jawab no. 128256, pada link http://islamqa.com/ar/ref/128256/.
[6] Fatwa Al Islam wa Jawab no. 128256/islamqa.com/ar/ref/128256/.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

recentpost-comment tab

Total Tayangan Halaman

Entri Populer

Be our Fan on Facebook

Categories

Recent Comments

belum ada iklan

Random Posts