Hukum Berhutang untuk berudhiyah

. . Tidak ada komentar:
Hukum Berhutang untuk berudhiyah

Meminjam uang (berhutang) untuk membeli hewan kurban pada dasarnya tidak dianjurkan, karena dia tidak termasuk yang memiliki kelapangan dan juga kedudukan hutang jauh lebih penting.

Dari Abu Hurairah Radhiyallaahu 'anhu, Nabi Shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ

“Jiwa seorang mukmin tergantung kepada hutangnya sehingga dibayarkan.” (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi, beliau mengatakan hadits hasan. Syaikh al-Albani juga menghassankannya dalam Shahih Sunan Ibnu Majah 2/53)

Hutang juga bisa menjadi sebab seseorang terhalang dari masuk surga, diriwayatkan dalam Shahih Muslim, ada seseorang datang kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, lalu berkata, “Bagaimana menurut Anda, jika aku terbunuh di jalan Allah dalam kondisi sabar, berharap pahala dan maju terus tidak kabur, apakah Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahanku?” Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menjawab, “Ya.” Namun ketika orang tersebut berbalik, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam memanggilnya atau memerintahkan untuk dipanggilkan dia. Lalu Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bertanya, “Apa yang kamu katakan tadi?” Lalu orang tersebut mengulangi pertanyaannya, dan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam menjawab, “Ya, kacuali hutang, begitulah yang dikatakan Jibril.” (HR. Muslim)

Dan dalam hadits lain dari Muhammad bin Jahsy, dia berkata, “Kami pernah duduk di tempat jenazah bersama Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam, lalu beliau mengangkat pandangannya ke langit lalu meletakkan telapak tangannya di dahinya sambil bersabda, “Maha Suci Allah, betapa keras apa yang diturunkan Allah dalam urusan utang-piutang?” Kami diam dan meninggalkan beliau. Keesokan harinya kami bertanya, “Ya Rasulullah, perkara keras apa yang telah turun?” Beliau menjawab, “Dalam urusan utang-piutang. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya seorang laki-laki dibunuh di jalan Allah kemudian ia dihidupkan lalu dibunuh kemudian dihidupkan lalu dibunuh (lagi) sedang ia memiliki hutang, sungguh ia tak akan masuk Surga sampai dibayarkan untuknya utang tersebut.” (HR. Al-Nasa’i dan al-Hakim, beliau menshahihkannya. Imam al-Dzahabi menyepakatinya. Sementara syaikh al-Albani menghassankannya dalam Ahkam al-Janaiz, hal. 107)

Sedangkan bagi orang yang memiliki jaminan untuk membayarnya seperti gaji tetap atau semisalnya, maka dia dibolehkan berhutang dan berkurban. Sementara orang yang tidak memiliki jaminan untuk membayarnya, maka janganlah dia berhutang supaya tidak membebankan pada dirinya dengan sesuatu yang tidak diwajibkan seperti kondisinya saat ini.

Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Utsaimin:
”Berhutang untuk membeli hewan kurban diperbolehkan bagi seseorang yang memiliki pekerjaan tetap dan penghasilan pasti, sehingga dia bisa membayar hutangnya dengan tidak melebihi batas tempo yang telah disepakati. Apabila tidak ada penghasilan pasti, maka tidak dianjurkan berhutang karena syari’at kurban hanya berlaku bagi orang yang memiliki kemampuan.” (Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin 25/110)
Ada pernyataan lain yang senada:

فالأضحية سنة، ولكن في حق القادر عليها، وأما العاجز عنها فلا تسن في حقه، قال الشيخ خليل رحمه الله تعالى في مختصره:(سن لحر غير حاج بمنى ضحية لا تجحف)، ومعناه أن الأضحية تسن في حق القادر عليها وهو المراد بقوله الذي لا تجحف به، قال العلامة الخرشي شارحاً له: (يعني أن الضحية يشترط فيها أن لا تجحف بمال المضحي فإن أجحفت بماله من غير تحديد فإنه لا يخاطب بها،)، ولا يقترض من أجل أن يحصل على الأضحية، قال العلامة الخرشي معلقا على الفقرة السابقة من كلام الشيخ خليل رحمهما الله تعالى: (ويفهم من كلام المؤلف وكلام ابن بشير أن من ليس معه شيء لا يتسلف).

Udhiyah itu sunnah bagi yang mampu, sedangkan bagi mereka yang tidak mampu tidak disunnahkan. Syaikh Khalil Rahimahullah menyatakan ” سن لحر غير حاج بمنى ضحية لا تجحف
Maksudnya bahwa udhiyah itu disunnahkan bagi yang mampu, kemudian syaikh al khurrrasyi menjelaskan bahwa disyaratkan dalam udhiyah tidak menguras harta pihak yang berudhiyah, sehingga apabila dengan berudhiyah menjadikan hartanya terkuras maka yang empunya tidak masuk dalam kategori golongan yang disunahkan untuk berudhiyah. Dan hendaknya dia tidak berhutang dengan tujuan agar dapat berudhiyah.  


فمن كان غير واجد للمال الذي يكفي لشراء الأضحية فاشترى أضحيته بالدين المقسط، ‏أو المؤجل، لأجل معلوم، وضحى بها أجزأه ذلك، ولا حرج عليه ، بل إن من أهل العلم ‏من استحب لغير الواجد أن يقترض لشراء أضحيته، إذا علم من نفسه القدرة على الوفاء.‏
وليس من هذا الباب من كانت عنده سعة من المال، إلا أنه لا يجد الآن السيولة الكافية ‏لشراء الأضحية. فهذا مخاطب بالأضحية، لأنه واجد في الحقيقة، فعليه أن يقترض حتى ‏يضحي.‏ والله تعالى أعلم.‏

Bagi siapa saja yang tidak memiliki harta yang dapat mencukupinya untuk berudhiyah, maka hendaknya dia membeli hewan kurban dengan sistem kredit dan masa tenggangnya diketahui dengan jelas. Dan seperti itu tidak mengapa serta tidak ada dosa baginya. Namun para ahli ilmu menganjurkan hal tersebut bagi mereka yang merasa mampu untuk melunasinya. 
Konteks pembicaraan ini berlaku bagi mereka yang sebenarnya mampu, namun pada waktu yang seharusnya berudhiyah, dia tidak memiliki harta yang mencukupi. Orang yang seperti ini masuk dalam koridor mereka yang disunahkan untuk berudhiyah (mampu).
Syaikh bin baz menyatakan :

"نعم، يستحب له أن يستقرض، يستدين ويضحي إذا كان خلفه ما يقضي منه، عنده ما يقضي منه، الأضحية سنة ولو بالاستدانة، إذا كان عنده ما يقضي ويوفي به."

bahwa udhiyah itu disunahkan dan dianjurkan bagi seseorang yang mampu untuk melunasi peminjaman yang dilakukan guna berudhiyah.  

Maka dari keterangan tadi, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa bagi mereka yang tidak mampu berudhiyah, tidak dituntut untuk melakukan peminjaman agar dapat berudhiyah, meskipun dengan adanya berbagai kemudahan yang diberikan dalam transaksi peminjaman yang ada. Bagaimana pun juga itu nanti akan menjadi beban pinjaman yang harus ditanggungnya. Dan bagi mereka yang membeli hewannya dengan kredit, maka tetap terkena ketentuan dia mampu untuk melunasi hutang kreditnya.

Diambil dari:
http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=7198
http://www.awqaf.ae/Fatwa.aspx?SectionID=9&RefID=10798
http://www.djelfa.info/vb/showthread.php?p=7705126

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

recentpost-comment tab

Total Tayangan Halaman

Entri Populer

Be our Fan on Facebook

Categories

Recent Comments

belum ada iklan

Random Posts